Dahnil dikawal sejumlah anggota Kokam (Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah) menemui Suratmi. Ibu lima anak juga didampingi kerabat. Sekitar satu jam lebih, pertemuan tertutup pimpinan organisasi kepemudaan PP Muhammadiyah berlangsung.
Usai pertemuan, rombongan menunaikan shalat Zhuhur di Masjid Munirah yang melekat jadi satu dengan rumah orang tua Siyono. Dahnil menggelar konferensi pers usai menunaikan shalat.
Suratmi sempat meneteskan air mata. Dia dengan penuh keikhlasan siap angkat kaki meninggalkan Kampung Brengkungan. ''Tidak apa. Saya ikhlas pergi dari sini. Tanah milik Allah luas. Kami siap hidup dimanapun''.
Pernyataan tulus Suratmi menjawab tuntutan warga. Mereka menolak pembongkaran dan autopsi jenazah Siyono. Bila autopsi dilakukan, jenazah tidak boleh dimakamkan di sana lagi. Keluarga Siyono pun harus angkat kaki dari Dukuh Brengkungan. ''Saya trenyuh mendengar pernyataan Bu Suratmi. Nangis saya tadi. Haru saya tadi,'' aku Dahnil.
Rasa trenyuh Dahnil juga terlihat ketika ia menyerahkan dua gepok uang yang diserahkan ke PP Muhammadiyah. Uang yang diperkirakan ratusan juta itu untuk membungkam Suratmi agar tidak melakukan upaya hukum atas kematian suaminya. ''Ternyata wanita mempunyai karakter, bersikukuh, tidak goyah dengan uang. Materi bukan segala-galanya''.
Menurut Dahnil, ini 'PR' (Pekerjaan Rumah) terberat yang harus dihadapi. Betapa tidak, Suratmi harus menyandang status janda dengan tanggungan lima anak yang masih kecil. Siapa yang harus tanggung-jawab membesarkan dan mendidik mereka, sementara negara tidak hadir dalam masalah ini.
Almarhum Siyono bukan warga maupun kader Muhammadiyah. Tapi, Muhammadiyah ingin hadir di dalamnya. Ingin melindungi, menuntut keadilan, memberi rasa aman, melakukan advokasi hingga tuntas.